bainbain

Write What I Wanna Write

Bertransformasi dengan Menulis — 14 Agustus 2022

Bertransformasi dengan Menulis

Permisi.

Perkenankan aku sedikit bercerita.

SMP adalah zaman saat aku cukup rajin baca novelnya Raditya Dika dan blognya Kevin Anggara. Hasilnya, ikut-ikutan menulis dengan ramuan komedi yang … ah, sudahlah. Sekitar akhir 2014 bikin blog. Saat mulai ngeblog, aku percaya suatu hari blog ini akan menjadi blog yang fenomenal. Akan menjadi awal mula perjalanan karier yang luar biasa. Persis seperti bagaimana karier Radit atau Kevin berjalan. Dari sana aku akan mendapatkan pundi-pundi, penerbit tertarik mengajak kerja sama, lanjut ke produksi film dan seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya.

Dan wow … kenyatannya blogku begitu-begitu aja sampai saat ini awkwkwkwk. Jadi tempat bercerita sesempatnya.

Baca lebih lanjut: Bertransformasi dengan Menulis

Tentu saja keinginan jadi penulis, menerbitkan buku dengan namaku tertera di sampulnya, sudah ada sejak saat itu. Keinginan buat dapet cuan dari nulis juga udah jadi target sejak dulu.

Di masa SMA, rasanya bisa hampir tiap hari aku nulis prosa dan puisi. Buku antologi prosa dan puisi, serta novelnya Nurun Ala boleh dibilang salah satu pelecutnya. Sebab lainnya, you know, it feels like butterflies in my stomach (mungkin ini sebab utamanya, ya heu). Sekarang stomach-ku cukup bahagia dengan isi cimol kentang, cireng, bakso aci, dan keluarga per-aci-an lainnya. Masa SMA juga sempat mencicip bergelut dengan karya tulis ilmiah. Beberapa kali cukup beruntung saat itu.

Masuk kuliah, bikin pusi dan prosa udah nggak “semudah” SMA. Kadang masih nulis, tapi jarang. Mungkin karena porsinya udah lebih banyak buat nulis berita, kata temanku. Kupikir, iya juga. Dan jujur, beberapa tahun terakhir kangen banget bersentuhan dengan puisi atau prosa, baik nulis bahkan baca.

Keinginan lama untuk menghasilkan dari menulis, Alhamdulillah ada jalannya.

Tapi di sisi lain, ternyata aku terlalu cemen untuk menerbitkan buku sendiri. Masih nggak percaya diri sampai hari ini. Padahal puisi dan prosa yang aku kumpulkan sejak masa SMA sudah aku rapihkan, aku susun, dengan jumlah 160-an halaman.

Sempat target tahun 2020 berani nerbitin. Tapi baru berani bergerak nyetak satu eksemplar buat diri sendiri. Ternyata aku se-cupu-itu.

Dasar cupu. Pffft.

Yha. Bhaiklah. Semoga tahun ini setidaknya aku berani cetak beberapa eksemplar. Semoga.

Tulisan ini ditulis ketika sadar aku punya blog yang tak tersentuh sepanjang pertengahan 2021 sampai Agustus tahun ini. Aku kaget, ternyata ada 142 postingan yang sudah terbit selama tujuh tahun blog ini hidup segan mati tak mau. Cerita soal sekolah, cerita soal lomba dan segala perjalanan, puisi, prosa, cerpen, harapan, cita-cita, cerita memalukan … banyak dari mereka benar-benar mewakili kondisi dan perasaanku saat itu. Membaca ulang tulisan lama menjadi semacam terapi, meski proses menulisnya sendiri tak selalu mudah. Aku harap aku terus menulis. Karena aku yang pelupa selalu perlu diingatkan oleh diriku di masa lalu. Membaca mereka seperti meluncur dalam perjalanan mesin waktu.

Jadi ingin berterima kasih sama diri sendiri karena sudah menyempatkan menulis. Semoga kamu punya lebih banyak waktu menulis se-random itu sekarang, sampai nanti.

Terima kasih.

A Memory — 25 Juli 2021

A Memory

Perempuan kecil itu duduk di sisi kanan kelas, tidak terlalu di belakang, tidak terlalu di depan. Kelas itu nampak sedikit berbeda dengan adanya panggung seukuran kira-kira 2,5×3 meter di depan, yang sesungguhnya hanyalah susunan meja yang ditutup karpet.

Berhari-hari sebelumnya, ia sudah tekun berlatih dengan seorang ustadzah. Sehingga, harusnya, mantaplah ia untuk tampil hari ini.

Dipegangnya naskah puisi yang akan membawanya ke atas panggung nanti. Satu per satu anak lain seusianya dipanggil namanya. Mereka tampil bergantian. Perempuan kecil itu mulai nervous: ini pertama kalinya ia akan membacakan sebuah puisi di depan orang-orang. Hingga akhirnya namanya dipanggil…

Baca lebih lanjut
CERPEN: Para Pergi — 14 Juli 2021

CERPEN: Para Pergi

Para Pergi

“Ma, apa rindu itu sama dengan kita tidak ikhlas berada jauh dari seseorang?”

            Mamaku menghela napas. Matanya mengawang-awang ke langit yang kelabu. Di antara yang kelabu itu segaris-dua garis sinar jingga yang cantik mencuri jalan sampai ke bumi dan masuk dengan cepat ke bola mata manusia. Pertanyaan itu keluar saja dari mulutku setelah hampir dua bulan penuh selalu kutemui laki-laki tua dengan sepedanya meluncur lewat depan rumah. Setiap sore, pukul setengah empat—meski sore ini ia terlambat hampir setengah jam.

Baca lebih lanjut
Menjadi Berani — 11 Juli 2021

Menjadi Berani

Sejauh ini, yang aku pahami, hidup berpihak pada orang-orang yang berani. Atau sebenarnya dia takut tapi “sok” berani.

Mari kita coba pahami kata “sok” dengan cara lain.

Untuk banyak hal yang aku putuskan sejauh ini, apakah aku memutuskannya secara sepenuhnya berani? Nggak. Lebih banyak sok beraninya, jujur.

Ada satu cerita. Ini kejadian beberapa tahun lalu, mungkin saat aku masih SMP.

Baca lebih lanjut
Penghujung Bulan Juni — 29 Juni 2021

Penghujung Bulan Juni

29 Juni 2021, tepat pukul 20:26 ketika kalimat ini ditulis.

Sejak pagi menjelang siang kepalaku pening. Mencari-cari informasi magang, meng-apply ke salah satunya, lalu menunggu … sambil berharap diterima—setelah beberapa lamaran sebelumnya tak juga membuahkan hasil.

Lalu tak sengaja bertemu seorang kating di salah satu DM akun perusahaan penyiaran. Dia memberiku saran untuk apply ke mana.

Setahun corona, kasus bukannya semakin landai, justru semakin tak terlihat kapan akan usai. Beberapa perusahaan tak membuka gerbangnya untuk mahasiswa magang. Meski salahku juga, baru “berburu” magang ketika tengah UAS, di saat yang lain jauh hari sebelum UAS sudah coba apply sana-sani.

Baca lebih lanjut
Catatan Mahasiswa Semester 6 — 1 Juni 2021

Catatan Mahasiswa Semester 6

Memulai tulisan ini dengan helaan napas.

Yak, sekarang saya udah semester 6. Di dua semester terakhir, kami mahasiswa jurusan penyiaran melakukan empat kali praktik gabungan. Emang sayang banget sih, gak bisa praktik di studio langsung gara-gara “cororo”. Tapi mau gimana lagi. Saatnya meyakini saja kalau ini yang terbaik dan mau gimana pun caranya, kami tetap belajar. Sebagaimana ada yang hilang, Insyaallah ada juga yang kami dapat.

Baca lebih lanjut