Permisi.

Perkenankan aku sedikit bercerita.

SMP adalah zaman saat aku cukup rajin baca novelnya Raditya Dika dan blognya Kevin Anggara. Hasilnya, ikut-ikutan menulis dengan ramuan komedi yang … ah, sudahlah. Sekitar akhir 2014 bikin blog. Saat mulai ngeblog, aku percaya suatu hari blog ini akan menjadi blog yang fenomenal. Akan menjadi awal mula perjalanan karier yang luar biasa. Persis seperti bagaimana karier Radit atau Kevin berjalan. Dari sana aku akan mendapatkan pundi-pundi, penerbit tertarik mengajak kerja sama, lanjut ke produksi film dan seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya.

Dan wow … kenyatannya blogku begitu-begitu aja sampai saat ini awkwkwkwk. Jadi tempat bercerita sesempatnya.

Baca lebih lanjut: Bertransformasi dengan Menulis

Tentu saja keinginan jadi penulis, menerbitkan buku dengan namaku tertera di sampulnya, sudah ada sejak saat itu. Keinginan buat dapet cuan dari nulis juga udah jadi target sejak dulu.

Di masa SMA, rasanya bisa hampir tiap hari aku nulis prosa dan puisi. Buku antologi prosa dan puisi, serta novelnya Nurun Ala boleh dibilang salah satu pelecutnya. Sebab lainnya, you know, it feels like butterflies in my stomach (mungkin ini sebab utamanya, ya heu). Sekarang stomach-ku cukup bahagia dengan isi cimol kentang, cireng, bakso aci, dan keluarga per-aci-an lainnya. Masa SMA juga sempat mencicip bergelut dengan karya tulis ilmiah. Beberapa kali cukup beruntung saat itu.

Masuk kuliah, bikin pusi dan prosa udah nggak “semudah” SMA. Kadang masih nulis, tapi jarang. Mungkin karena porsinya udah lebih banyak buat nulis berita, kata temanku. Kupikir, iya juga. Dan jujur, beberapa tahun terakhir kangen banget bersentuhan dengan puisi atau prosa, baik nulis bahkan baca.

Keinginan lama untuk menghasilkan dari menulis, Alhamdulillah ada jalannya.

Tapi di sisi lain, ternyata aku terlalu cemen untuk menerbitkan buku sendiri. Masih nggak percaya diri sampai hari ini. Padahal puisi dan prosa yang aku kumpulkan sejak masa SMA sudah aku rapihkan, aku susun, dengan jumlah 160-an halaman.

Sempat target tahun 2020 berani nerbitin. Tapi baru berani bergerak nyetak satu eksemplar buat diri sendiri. Ternyata aku se-cupu-itu.

Dasar cupu. Pffft.

Yha. Bhaiklah. Semoga tahun ini setidaknya aku berani cetak beberapa eksemplar. Semoga.

Tulisan ini ditulis ketika sadar aku punya blog yang tak tersentuh sepanjang pertengahan 2021 sampai Agustus tahun ini. Aku kaget, ternyata ada 142 postingan yang sudah terbit selama tujuh tahun blog ini hidup segan mati tak mau. Cerita soal sekolah, cerita soal lomba dan segala perjalanan, puisi, prosa, cerpen, harapan, cita-cita, cerita memalukan … banyak dari mereka benar-benar mewakili kondisi dan perasaanku saat itu. Membaca ulang tulisan lama menjadi semacam terapi, meski proses menulisnya sendiri tak selalu mudah. Aku harap aku terus menulis. Karena aku yang pelupa selalu perlu diingatkan oleh diriku di masa lalu. Membaca mereka seperti meluncur dalam perjalanan mesin waktu.

Jadi ingin berterima kasih sama diri sendiri karena sudah menyempatkan menulis. Semoga kamu punya lebih banyak waktu menulis se-random itu sekarang, sampai nanti.

Terima kasih.