Sejauh ini, yang aku pahami, hidup berpihak pada orang-orang yang berani. Atau sebenarnya dia takut tapi “sok” berani.

Mari kita coba pahami kata “sok” dengan cara lain.

Untuk banyak hal yang aku putuskan sejauh ini, apakah aku memutuskannya secara sepenuhnya berani? Nggak. Lebih banyak sok beraninya, jujur.

Ada satu cerita. Ini kejadian beberapa tahun lalu, mungkin saat aku masih SMP.

Malam itu aku sedang berada di Sidoarjo, di rumah sepupu. Aku dan adek sepupu yang saat itu sepertinya masih berusia tujuh tahun diminta untuk beli martabak yang ada di jalan besar. Berangkatlah kami berdua jalan kaki menuju tukang martabak, dan adik sepupu saya itu berperan sebagai penunjuk jalan.

Pulang dari beli martabak, adek saya mengarahkan untuk lewat rute yang berbeda, katanya lebih deket. Di rute pulang itulah kami lewat jalan yang kira-kira lebarnya tiga meter, gelap banget, dan di sisi kanan kirinya ada pohon besar yang menutup langit malam.

Tiba-tiba adekku bilang, “Mbak… takut,” dia pegang tanganku.

Dalem hatiku: YA ALLAH ASTAGHFIRULLAH AKU JUGA TAKUT WOE TOLONG.

Tapi yang keluar dari mulut adalah, “Ck gak usah takut. Apa kok takut? Ayo baca doa sama-sama,” lalu kami baca doa keras-keras—entah doa apa, aku lupa. Lalu aku pegang balik tangannya lebih kuat.

Padahal hati menjerit dan udah kebayang tiba-tiba muncul kunti di depan atau gelantungan di pohon.

Setelah kami berhasil ngelewatin dua pohon besar itu dan mulai mendapatkan penerangan lampu jalan, kami ber-hore-ria.

Bayangkan, misal, aku menunjukkan ketakutanku saat itu. Mungkin skenarionya akan seperti ini: adek sepupuku bilang takut -> aku terdiam beberapa detik lalu bilang takut juga -> kami lari terbirit-birit dan teriak “AAaAAaaAaaAaaaAAaA~” dengan suara yang gak ada merdu-merdunya-> martabaknya jatuh -> kami gak berani ambil balik martabaknya -> kami pulang dengan tangan hampa.

Saat itu, aku merasa menjadi superhero karena telah berhasil melawan rasa takut, membawa martabak dengan selamat, sehingga terciptalah suasana keluarga yang hangat ditemani martabak manis dan martabak telor.

Kenyataannya, masih banyak juga hal yang aku takutkan saat ini, bahkan dengan alasan remeh-temeh. Tapi ya memang gak harus buru-buru, sepertinya. Masih perlu banyak belajar. Aku akan terus mencoba menghadapi rasa takut itu, step by step.

Catatan: tapi tentu saja, ketika memutuskan untuk “sok” terhadap apa yang akan kita hadapi, harus terukur dan ada persiapan. Jangan main trabas tapi have no clue what to do.