Para Pergi

“Ma, apa rindu itu sama dengan kita tidak ikhlas berada jauh dari seseorang?”

            Mamaku menghela napas. Matanya mengawang-awang ke langit yang kelabu. Di antara yang kelabu itu segaris-dua garis sinar jingga yang cantik mencuri jalan sampai ke bumi dan masuk dengan cepat ke bola mata manusia. Pertanyaan itu keluar saja dari mulutku setelah hampir dua bulan penuh selalu kutemui laki-laki tua dengan sepedanya meluncur lewat depan rumah. Setiap sore, pukul setengah empat—meski sore ini ia terlambat hampir setengah jam.

***

            2020 akan dikenang sebagai tahun yang membuat banyak orang patah hati. Bencana yang bertubi-tubi membuat kemiskinan menjadi-jadi—biasanya sudah dekat, kini ia lebih akrab. Terutama pada laki-laki tua itu. Tahun ini pun adalah tahun yang mencampakkannya, menjadikan ia lelaki paling miskin dan patah hati. Jika covid telah membuat banyak kematian menyakitkan, lelaki tua ini juga mengalami kematian yang tak kalah menyakitkan, meski bukan karena covid. Istrinya meninggal dunia. Sekali lagi, bukan karena covid. Tapi penyakit tua yang yang memang wajar saja dan tak dapat dihindari. Ia meninggal begitu manis di ranjangnya—yang meski tak empuk tetapi hangat karena sepanjang malam perempuan yang bersahaja itu berada di pelukan suaminya. Kepergiannya membuat laki-laki ini menjadi begitu miskin.

Sudah dua bulan sejak kepergian istrinya, ia tak pernah luput untuk selalu berziarah ke makam. Setiap sore. Setiap pukul setengah empat sore. Jika terlambat atau lebih cepat mungkin hanya selisih lima menit, tak lebih. Jadilah makam istrinya menjadi makam paling indah di antara makam-makam lain. Warnanya paling cerah di antara ratusan makam lain yang hanya kering kerontang, kusam, tak terawat ketika kemarau, namun malah yang subur sekali rumput liar berumah di atasnya ketika penghujan. Makam wanita tua yang satu ini dipenuhi taburan kelopak mawar merah dan putih yang tak pernah layu—sebab ia selalu ditabur setiap hari. Di sisi-sisinya ramai irisan kecil-kecil daun pandan ditabur, wangi menghambur. Di bagian kepala makam tumbuhlah tanaman hias kecil, berbunga putih yang juga kecil-kecil. Dan ketika tanaman hias itu berbunga, terlihatlah sebuah pemandangan makam yang sangat indah. Tak akan pernah kau bayangkan akan sebahagia ini hanya dengan melihat sebuah makam.

***

            Saat itu aku masih SMP. Mulai mengenal konsep cinta meski dapat dikatakan masih terlalu buram. Langit sore itu kelabu dengan sedikit jingga keemasan, tepat ketika laki-laki tua itu kembali menampakkan dirinya lewat di depan rumah. Wajahnya sendu, layu. Tapi tak pernah kehabisan tenaga untuk mengengkol sepeda tuanya. Ketika itu kutanya pada mama tentang rindu dan ikhlas. Ia terdiam cukup lama dan aku tak mengerti bahwa ternyata pertanyaanku sesulit itu.

            Mama rindu pada ayah yang sudah pergi sejak aku masih TK, aku tak tahu bagaimana caranya dia menyimpan rindu. Baru kutahu setelah sebulan lalu akhirnya aku mengantarkan mama ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Mama bukan kakek tua itu, yang setiap hari berziarah untuk ayah. Mama hanya berziarah ke makam ayah saat menjelang Ramadan atau saat Idul Fitri—seperti manusia pada umumnya. Tapi setelah membereskan kamar mama, aku mencium aroma rindu yang begitu kuat dan pekat. Terlalu pekat sampai dadaku sesak dibuatnya. Dalam sebuah kotak sepatu, mama menulis ratusan surat untuk ayah. Beberapa di antara halaman surat itu diselipkan bunga kecil yang kini sudah mengering. Beberapa diantaranya diselipkan fotoku, foto mama, atau foto muda ayah—memang belum sempat ia merasakan gatalnya kepala karena tumbuh uban. Secara fisik, tak setiap hari ia menyentuh tanah di makam ayah. Tapi setiap hari sesungguhnya ia mendamba bertemu dengan kekasih satu-satunya itu.

            Apakah mama rindu? Sudah pasti.

            Apakah mama tidak ikhlas? Aku tak berani menjawab.

            Yang kutahu kini mereka mungkin telah bersua dan saling membalas rindu seperti orang saling membalas dendam. Kuharap mereka dipertemukan dalam taman penuh bunga, yang aroma bunganya kalah semerbak dibandingkan aroma rindu dua insan ini. Kuharap Allah meridai mereka.

            Setelah sebulan ditinggal mama, aku sendiri takut untuk menjawab pertanyaanku saat masih SMP itu.

            Apakah aku rindu mama? Jelas ya.

            Apakah aku ikhlas? Aku begitu takut untuk menjawab tidak.

            Aku menghela napas panjang. Setelah kupanjantkan doa-doa, aku bangkit dengan lunglai, mataku terasa perih dan pipiku masih saja terasa hangat. Aroma mawar masih melekat di atas makam mama. Berjalan menuju sepeda motorku di parkiran sana, kulihat lagi kakek tua yang rajin “menjenguk” istrinya itu. Ia tampak jauh lebih tua. Tak bisa kubayangkan ia hidup bertahun-tahun dengan rutinitas sore yang begitu menyedihkan. Apa ia berziarah dengan harapan istrinya akan bangkit atau bagaimana, hah? Aku diam-diam memperhatikan kakek tua berkemeja abu-abu lusuh itu. Seperti peziarah lainnya—termasuk aku—ia menaburkan bunga, memanjatkan do’a, sesekali mencabuti rumput liar—yang jumlah di makam istrinya sangat sedikit, tentu saja karena ia lakukan itu tiap hari tanpa absen. Setelah itu bergegas kembali ia mengambil sepeda engkolnya. Ia menuntun sepedanya melewati aku yang masih melamun di atas sepeda motor. Berkelebat pikiran-pikiran tentang apakah aku akan menjadi seperti kakek tua yang tidak ikhlas itu? Dan tentu saja menguatkan diri sendiri bahwa hidup terus berjalan, bahwa aku boleh rindu tapi tetap harus ikhlas.

            Di tengah lamunku, kakek tua itu melempar senyum yang mengejutkan. Aku memperhatikannya sejak SMP—sejak istrinya meninggal. Tak kusangka kami akan bersapa di suasana berkabut macam ini. “Yang kuat ya nduk. Kirim Al-Fatihah untuk almarhum almarhumah setiap hari. Dan kamu…” kata-katanya terjeda sesaat. “ … harus ikhas.”

            “Bapak sudah ikhlas?” tanyaku tanpa babibu—ah, maaf kalau terkesan kurang sopan di percakapan pertama kita, Pak.

            “Sulit. Setiap hari aku datangi makam istriku, dan itu justru menyadarkanku bahwa aku, kamu, hanya tinggal menunggu giliran untuk dimasukkan ke lahat.”

            “Sekarang sudah ikhlas?”

            “InsyaAllah. Lagi pula tak akan lama lagi,” jawabnya berlalu dengan sepeda tuanya.

            Seminggu kemudian, kudapati kabar kematiannya.

***

            Sore itu langit keemasan. Kakek tua yang ditinggal istrinya kembali meluncur di depan rumahku, kali ini sedikit terlambat dari biasanya.

            Aku bertanya pada mama, “Ma, apa rindu itu sama dengan kita tidak ikhlas berada jauh dari seseorang?”

“Saat kamu sudah ikhlas, nak, kamu masih boleh merasa rindu.”


Cerpen ini ditulis Agustus 2020. Namun saat ini, kehilangan semakin banyak. Kabar duka diumumkan di masjid-masjid, di pesan chat, di sosial media.

Ya Allah, kami mohon pandemi ini segera berakhir. Kami mohon lapangkan dada kami atas kehilangan-kehilangan.

Innalillahi wa inna ilaihi raji’uun.